Perbedaan Model Bisnis Wholesaler dan Retailer
Bisnis wholesaler dan retailer sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Namun tahukah Anda perbedaan keduanya? Bagaimana kedua model bisnis ini bekerja dan apakah kita bisa menggabungkan keduanya untuk mencapai profit di e-commerce atau meraih keuntungan semaksimal mungkin? Memahami perbedaan antara wholesaler dan retailer sangat penting untuk kesuksesan dalam perdagangan.
Apa Perbedaan Wholesaler dan Retailer?
Pada dasarnya, wholesaler atau yang lebih umum dikenal dengan nama grosir, melibatkan penjualan produk kepada bisnis lain dengan harga diskon dan dalam jumlah yang besar. Di sisi lain, retailer melibatkan penjualan produk langsung kepada konsumen dengan harga eceran.
Untuk menjelaskan lebih lanjut, istilah bisnis “business-to-business” (B2B) dan “business-to-consumer” (B2C) sering digunakan.
- Wholesaler (B2B): Penjualannya dilakukan oleh grosir kepada bisnis lain, bukan langsung kepada konsumen. Namun tak jarang beberapa pemilik bisnis menawarkan penjualan wholesale langsung ke konsumen karena banyak yang menyukai best deal offer yang diterima konsumen jika berbelanja lebih banyak.
- Retailer (B2C): Penjualannya dilakukan oleh pengecer langsung kepada konsumen.
Baca juga: 6 Metrik Kunci dalam Distribusi FMCG Nasional
Cara Kerja Wholesaler
Wholesaler atau grosir adalah proses pembelian barang dalam jumlah besar dari produsen atau distributor, kemudian menyimpannya di gudang untuk dijual kembali kepada pengecer dengan keuntungan.
Dengan membeli produk dalam jumlah besar dengan harga rendah, lalu dijual kembali dalam jumlah kecil-kecil dengan harga yang lebih tinggi. Sebagai contoh, seorang wholesaler dapat membeli 1.000 botol air seharga Rp3.000 per botol, sehingga totalnya menjadi Rp3.000.000. Lalu wholesaler tersebut menjual 50 botol kepada 20 pengecer dengan harga Rp6.000 per botol, yang menjadi dua kali lipat dari harga awal yang mereka bayar.
Secara keseluruhan, cara kerja wholesaler adalah seperti ini:
- Membeli produk dari produsen dan distributor dalam jumlah besar dengan harga murah.
- Tidak menjual langsung kepada konsumen akhir.
- Menjual produk tersebut kepada bisnis lain dengan jumlah lebih kecil dan harga lebih tinggi dari harga pembelian.
Baca juga: Carbon Offset: Pengertian dan Manfaatnya Bagi Perusahaan
Cara Kerja Retailer
Retailer atau pengecer membeli barang dalam jumlah besar dari grosir, produsen, atau distributor, dan menjualnya langsung kepada konsumen akhir. Mereka adalah titik terakhir dalam rantai pasokan.
Sebagai contoh, seorang pengecer bisa membeli 100 jam tangan dari grosir seharga Rp200.000 per jam dan menjualnya kepada konsumen seharga Rp550.000 per jam.
Secara sederhana, pengecer:
- Membeli barang dalam jumlah besar dari grosir atau distributor.
- Memasarkan dan menjual produk satuan kepada konsumen akhir.
- Mengontrol sepenuhnya pengalaman pelanggan.
Target Market yang Dituju
Pelanggan wholesaler membeli produk untuk dijual kembali di toko mereka dengan markup yang lebih tinggi. Target bisnis ini umumnya terdiri dari manajer toko atau pengelola yang fokus pada pembelian untuk kemudian dijual kembali.
Di sisi lain, retailer menjual produk langsung kepada konsumen akhir. Tantangan dan motivasi pembelian mereka sangat bervariasi, terutama jika suatu produk memiliki berbagai macam kegunaan.
Sebagai contoh, pelanggan wholesaler dalam bisnis produk perawatan kulit akan tertarik untuk membeli produk berkualitas tinggi yang bisa menghasilkan keuntungan. Konsumen ritel tertarik untuk menggunakan produk tersebut untuk mengatasi masalah kulit mereka, seperti jerawat atau dehidrasi kulit.
Baca juga: Cara Mengelola Reverse Logistics dalam Industri FMCG
Proses Pembelian
Proses pembelian wholesaler lebih formal. Transaksi melibatkan kontrak, negosiasi yang berkelanjutan, dan pesanan pembelian yang dibutuhkan. Karena volume dan nilai barang yang diperdagangkan cukup besar, penting untuk menetapkan syarat yang jelas, harga, jadwal pengiriman, dan kondisi pembayaran. Dalam pembelian B2B, rata-rata ada banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam keputusan pembelian.
Sebaliknya, pembelian ritel lebih sederhana. Konsumen, baik yang berbelanja online atau di toko fisik, memilih apa yang mereka inginkan dan langsung membayar. Biasanya, hanya ada satu pengambil keputusan dalam pembelian, atau beberapa orang jika pembelian melibatkan pesanan khusus terhadap produk tersebut.
Penetapan Harga dan Margin Keuntungan
Baik wholesaler maupun retailer menghasilkan keuntungan dengan cara membeli produk dengan harga tertentu dan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini disebut dengan markup. Markup ditambahkan pada harga pokok untuk menutupi biaya dan menghasilkan keuntungan. Setiap langkah dalam rantai pasokan komersial meningkatkan biaya barang, yang dikenal sebagai keystone markup, yaitu saat produk diberi markup sebesar 50%, yang berarti harga jualnya dua kali lipat lebih mahal dibandingkan saat produk tersebut dibeli.
Secara umum biasanya penetapan margin keuntungan kedua model bisnis tersebut seperti ini:
- Wholesaler memiliki margin keuntungan sebesar 15-30%.
- Retailer menambahkan markup 30-50% pada harga grosir.
Volume Transaksi
Wholesaler menangani jumlah besar produk dalam sedikit transaksi, yang masing-masing bernilai besar. Mereka fokus pada pengelolaan logistik, pergudangan, dan penyimpanan untuk sedikit pelanggan yang berulang. Kehilangan satu klien besar bisa sangat berdampak pada bisnis grosir.
Retailer atau para pengecer, fokus dalam transaksi yang lebih kecil dan lebih personal. Nilai per transaksi mungkin lebih rendah, tetapi nilai kumulatifnya signifikan. Dengan basis pelanggan yang luas, gangguan dalam rantai pasokan dapat mempengaruhi banyak penjualan individual.
Baca juga: Cara Memastikan Produk FMCG Sesuai Regulasi Kesehatan dan Keamanan
Penyimpanan Inventaris dan Pergudangan
Sebagian besar wholesaler memiliki gudang besar yang menyimpan banyak inventaris. Fokus utamanya adalah pada penyimpanan yang efisien, pemuatan dan pembongkaran barang dalam jumlah besar, serta alur logistik yang dioptimalkan.
Untuk retailer, penyimpanan dilakukan di ruang belakang atau gudang kecil, dan difokuskan pada kecepatan pemenuhan barang di lantai toko. Penyimpanan di rak toko lebih fokus pada penyajian produk agar mudah diakses oleh konsumen.
Apakah Ada Bisnis yang Menjalankan Keduanya?
Banyak bisnis besar yang tidak hanya berfokus pada grosir atau ritel. Bisnis-bisnis ini beroperasi di setiap aspek rantai pasokan perdagangan, baik dalam grosir maupun ritel. Contoh merk dagang yang menjalankan keduanya adalah Nike, Cartier, dan supermarket besar di Indonesia seperti Hypermart atau Lottemart juga menjalankan kedua model ini untuk meraih keuntungan dari konsumennya.
Baca juga: Cara Mengelola Supply Chain Management
Memahami perbedaan dan kelebihan masing-masing model bisnis grosir dan ritel dapat membantu pemangku kebijakan dan pemilik bisnis menentukan strategi terbaik untuk pertumbuhan perusahaan. Dengan memahami audiens yang dituju, proses pembelian, dan berbagai faktor lainnya, Anda dapat menyesuaikan pendekatan bisnis yang paling efektif dan menguntungkan.
Apapun model bisnisnya, capai target penjualan dengan lebih mudah bersama MileApp. Aplikasi sales lapangan yang akan membantu tenaga sales Anda bekerja lebih efektif dan efisien. Dengan fitur-fitur lengkap, MileApp siap menjadi partner bisnis Anda. Bergabunglah dengan perusahaan-perusahaan besar seperti Unilever dan Sampoerna yang sudah merasakan manfaatnya.
Jadwalkan demo
Isi form di bawah dan tim kami akan segera menghubungi Anda.